Joged Timuhun

Oleh: Gde Aryantha Soethama

Asap dari dapur mengepul di sela tipis halimun pagi, menebarkan aroma gurih bawang goreng. Landri mendongakkan kepala dari jendela ketika mendengar langkah-langkah Tingkep memasuki halaman, disusul sekilas gonggong anjing

“Mereka sudah mulai!” kata Ketut Tingkep terengah-engah. “Mereka menggali dan mendirikan gubuk.”
Landri mematikan kompor, meniriskan bawang goreng di panci. Ia merasa tubuhnya sangat ringan, bergoyang-goyang seperti tak menjejakkan tanah ketika melangkah ke bale dingin. Ia terduduk lesu, membiarkan kedua tangannya terkulai lurus menggantung. Matanya membiaskan keletihan dan kekecewaan amat sangat, menatap Tingkep dengan gamang.
“Padahal sudah kita datangi Pak Bupati, dan beliau berjanji memihak kita,”ujar Landri lirih. “Mereka benar-benar orang kuat.”
Kini Landri sadar, ia kalah. “Kita kalah karena melawan, Tingkep, tidak karena menyerah.” Ia menunduk, matanya hangat. Ia mencoba sekuat-kuatnya untuk tidak menangis di depan sahabatnya. Dia masih tetap ingin agar semua orang tahu dirinya perempuan teguh, sangat kokoh, seperti ketika ia memulai gerakan menantang itu. Tetapi sejak awal banyak kerabat menyangsikan ia akan memetik keberhasilan. Tak sedikit yang meramalkan gerakannya akan sia-sia, bakalan patah terkulai layu di tengah jalan.
Tetapi ia terus saja melangkah.”Aku tak akan menyerah sebelum benar-benar kalah,” ujarnya. “Desa Timuhun tak punya sejarah dengan orang-orang sudi menyerah.” Berkali-kali ia mengucapkan kalimat itu kepada orang sedesa, dengan dada hangat, bibir gemetar, dan mata membara.
Desa Timuhun letaknya terpencil, di kaki Bukit Bisbis, dekat hutan lindung. Di zaman revolusi kemerdekaan, desa ini menjadi tempat persembunyian pemuda pejuang. Belanda sering memburu gerilyawan-gerilyawan itu sampai desa Timuhun, namun selalu kehilangan jejak. Pemuda-pemuda itu menyamar sebagai penabuh gamelan joged bumbung. Gadis-gadis desa menjadi penarinya.
Hampir saban malam mereka menggelar pertunjukan di balai desa. Jika serdadu-serdadu Belanda itu berpatroli sampai di Timuhun malam hari, pasti ikut larut jadi pengibing. Mereka tak pernah menyangka penabuh itu adalah pemuda pejuang, dan penari-penari itu mata-mata.
Orang-orang yakin joged Timuhun joged tertua di Bali. Bahkan banyak yang memastikan, asa-usul tari joged berasal dari Timuhun. Sekaa joged ini menjadi terkenal berkat promosi gencar Antarbuana Tour. Kepada turis-turis dikisahkan, joged Timuhun adalah sekaa joged yang didirikan di zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan, bertahan turun-temurun. Kalau hendak menikmati pertunjukan joged asli, murni, dengan iringan musik rindik, datanglah di Timuhun.
Pelancong Eropa terutama, senang sekali ke Timuhun. Sebelum menonton joged, mereka diajak keliling desa, ke tepi hutan yang angker tempat persembunyian para pemuda berjuang. Mereka diajak ke tepi jurang, di mana tiga serdadu Belanda pernah digantung para gerilyawan di pohon bunut tinggi dan berlumut, tahun 1947.
Timuhun lambat laun berkembang menjadi desa wisata agro yang menarik, masih asli. Antarbuana Tour kemudian menyusun paket wisata ke desa itu, termasuk menyaksikan pertunjukan joged bumbung. Turis bisa saja menyaksikan joged di tempat lain, tetapi hanya di Timuhun mereka bisa menonton tarian joged bersejarah.
Turis makin ramai ke Timuhun berkat joged revolusi. Balai desa saban petang jadi meriah. Keinginan Antarbuana Tour pun berbiak, ingin membawa turis lebih banyak, dan menaikkan harga tiket tontonan. Untuk itu mereka hendak meningkatkan servis, menyediakan tempat pertunjukan lebih luas dan nyaman, dengan memindahkan pertujukan joged dari balai desa ke halaman pura.
Biro perjalanan ini akan membangun panggung terbuka di halaman Pura Puseh. Para penari akan keluar dari gerbang pura, untuk mengesankan pertunjukan alami dan anggun dengan latar belakang ornament pura berikut candi-candinya. Turis-turis itu akan menyaksikan pertunjukan sambil menikmati santap malam.
“Aku tak setuju pertunjukan dipindah,” cetus Landri. “Pura akan tercemar.”
“Mereka akan membayar lebih mahal untuk kita,” ujar Wayan Kandel, pimpinan sekaa joged. “Kita butuh lebih banyak penari. Ini lapangan kerja baru. Pura Puseh pun dapat bagian dari tiket tontonan, sehingga kita tak usah mengeluarkan uang iuran setiap upacara di Pura.”
“Tapi pura akan tak suci lagi,” jelas Landri.
“Tak suci bagaimana? Mereka tak mengotori pura. Mereka akan menonton dengan tertib. Yang diinginkan biro perjalanan hanyalah agar pertunjukan bisa tampil alami. Turis-turis itu suka yang asli. Pura Puseh hanya jadi latar belakang.”
“Memang bagus untuk turis. Namun panggung dan bangunan akan merusak lingkungan pura,” sahut Ketut Tingkep, penabuh gendang. “Tak usah dipindah, biarkan saja di balai desa.”
Wayan Kandel diam. Ia merasa lelah, karena sudah berulang kali berdebat sengit dengan para penari dan penabuh. Tak ada yang setuju pindah ke halaman pura, dengan alasan kompak, perpindahan itu merusak tempat suci . Sementara Gusti Banturan, pemilik Antarbuana Tour, mendesak agar segera pindah. “Seluruh biaya saya yang tanggung,”ujar Banturan. “Kalau tetap tak mau pindah, tak akan ada turis ke Timuhun untuk ngibing bersama joged.”
Wayan Kandel menyampaikan ancaman itu kepada Landri dan kawan-kawan.
“Tak ada turis ke Timuhun nonton joged? Semua itu bohong besar ! cetus Landri sengit. “Desa kita terlanjur dikenal memiliki joged terbaik. Jika tak ada turis kemari, yang rugi justru Pak Gusti. Berapa ratus dolar keuntungannya hilang semalam? Dan kita, sumber penghidupan kita bertani, hidup dari hasil kebun. Yang butuh turis dan Sekaa joged itu Gusti Banturan. Jangan dibalik-balik. Bukan kita yang butuh Pak Gusti.”
“Pak Gusti bisa mengalihkan turis-turis nonton joged di tempat lain,” tangkis Wayan Kandel.
“Apa kamu yakin turis-turis itu mau?”
“Pasti mau! Mereka tak tahu joget yang ditonton itu bagus atau jelek.”
“Pada akhirnya mereka tahu. Akan tersiar kabar Pak Gusti berbohong, mengajak tamu-tamunya menonton pertunjukan joged tidak bermutu, tidak sebagus joged Timuhun. Ia akan kehilangan kepercayaan dari rekan bisnisnya. Bagaimanapun ia akan tetap mempertahankan Timuhun sebagai paket wisata khusus dan unik kepada tamu-tamunya. Percayalah, Pak Gusti tak akan mencampakkan Timuhun sebagai tambang dollarnya. Karena itu kita harus bertahan, jangan mau pindah.”
Wayan Kandel terhenyak. Ia tak mengerti, bagaimana mungkin Nyoman Landri, hanya tamat SMP, seorang penari joged, baru dua puluh lima tahun, bisa punya pikiran semaju, dan seluas itu. Ia cuma seorang perempuan desa yang ditinggal mati ibunya ketika menamatkan sekolah dasar. Ayahnya kawin lagi, dan Landri memilih tinggal bersama bibinya dibanding serumah dengan ibu tiri.
Tamat SMP ia menolak meneruskan sekolah, karena tak ingin membebani orang lain untuk membiayai. Ia kemudian punya waktu sangat longgar untuk bergabung dengan sekaa joged. Dari honor menari ia mulai menimbang-nimbang, ia bisa hidup mandiri. Mulailah Landri menjadi pedagang, membeli pisang-pisang dari petani ladang, memeramnya hingga matang, untuk dijual kepada pengepul yang datang dari kota dengan mobil pick up. Bergaul dengan orang-orang kota membuka pikiran dan memperluas pandangannya. Dari mereka jua ia mendapat pengetahuan tentang siasat berdagang, atau tipu muslihat oarng-orang kepercayaan yang tega mencampakkan majikan dan kerabat.
“Bapak Camat sudah setuju,” kata Wayan Kandel tiba-tiba.
“Kami sudah mendatangi Bapak Bupati. Kata beliau, bisnis buat turis jangan sampai mengganggu kesucian tempat ibadah. Beliau tak setuju tempat pertunjukan dipindah,” sahut Ketut Tingkep.
Wayan Kandel tersenyum. “Pak Gusti orang kuat. Beliau punya hubungan luas dan dekat dengan orang-orang pusat. Pada akhirnya kita harus menyerah.”
“Aku takkan menyerah!” sergap Landri keras.
“Mau apa kalian jika toh akhirnya tempat pertunjukan dipindah?”
“Aku akan berhenti menari.”
Wayan kandel terkesiap. Dadanya berdegup. Sekaa joged Timuhun bisa bubar kalau Landri keluar. Sepuluh joged dan para penabuh akan mengikuti jejaknya.
“Mereka mau mogok? Biarkan!”teriak Gusti Banturan terkekeh ketika menerima laporan Wayan Kandel. “Banyak joged di Bali. Tak saya sangka, di Timuhun ada wanita angkuh cuma baru bisa menari joged. Tenang saja, Wayan ! Akan saya datangkan penari joged sepuluh kali lebih cantik dengan liukan pinggul lebih aduhai. Di Timuhun akan tampil pertunjukan joged paling yahud dan top di Bali. Yang penting sekarang, urus segala keperluan membangun stage.”
Izin membangun panggung di halaman Pura Puseh berjalan mulus. Kepala desa, camat, bupati, merestui. Bahkan ketika peletakan batu pertama, Bupati berpidato bahwa usaha Gusti Banturan harus didukung, dan dinilai sebagai upaya mengembangkan pariwisata melalui pelestarian nilai-nilai tadisi. “Pada akhirnya semua usaha itu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Timuhun,” ujar Bupati disambut tepuk tangan para undangan.
Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai jika turis-turis itu ngibing dengan lucu dan terengah-engah, segera akan pindah dari balai desa ke halaman pura. Menjelang malam pementasan perdana, Nyoman Landri merasa hatinya tercabik-cabik. Sejak siang ia gelisah, dan merapikan seluruh pakaian dan perlengkapan tarinya, memasukkannya ke dalam tas besar. Dari lipatan baju di almari ia mengambil honor menari yang ia kumpulkan bertahun lamanya.
Menjelang sore ia melangkah perlahan-lahan lewat belakang rumah, menelusuri pematang, menerobos perdu liar dan batang-batang rumput gajah. Ia mendaki bukit kecil, melalui jalan setapak batu karang dengan beberapa pohon buni dan wani di kiri kanan. Dari ketinggian bukit ini Landri bisa melihat stage pertujukan joged di halaman Pura Puseh yang disemarakkan penjor-penjor. Dua bus wisata memasuki halaman pura, memuntahkan penari joged dan penabuh dari Denpasar. Sebentar lagi petang, tempat itu pasti terang-benderang dan hiruk pikuk.
Angin berdesir perlahan di punggung bukit. Mata Landri basah. Ia mencoba tidak menangis, tapi tak kuasa. Ia berpaling, dengan susah tertatih-tatih meneruskan langkah. Tiba di bawah pohon manggis, ia mendengar langkah-langkah mengikuti. Ia berhenti, berbalik, memastikan siapa yang membuntuti.
“Mau kemana, Landri?” Ketut Tingkep tiba-tiba berdiri di hadapannya.
Lama Landri tak menjawab. Tingkep menatap sepasang mata joged Timuhun itu lembab. Ketika mata itu terpejam, air bening hangat meluncur di pipi. Tingkep bisa merasakan, cukup lama Landri menangis di bukit itu seorang diri, ketika menyaksikan halaman pura perla perlahan-lahan bertambah ramai menjelang pertunjukan joged perdana digelar untuk turis nanti malam.
“Ke Galiran, aku akan ke rumah ibu di Desa Galiran.” Sahut landri terisak. Baru kali ini Tingkep melihat perempuan kokoh itu tersedu-sedan.
Tingkep menatap tas besar yang dijinjing Landri, dipenuhi pakaian perlengkapan menari joged.”Tampaknya kau kan lama di Galiran.”
“Aku di sana seterusnya , tinggal bersama nenek. Ia sendiri sudah lama meminta aku menemaninya. Tapi aku sibuk menari joged. Sekarang saatnya memenuhi keinginan nenek.”
“Tega kau meninggalkan kami, Landri?”
“Sangat sakit kalau aku bertahan di Timuhun sini, menyaksikan kekalahan yang harus aku terima di desa sendiri.”
Jika tetap di Timuhun, saban petang, setiap malam, Landri pasti merasa hatinya seperti dihimpit baja menyaksikan joged-joged dari luar menari di desanya. Suara rindik itu, derai tawa riang turis-turis ngibing, akan menyat-nyayat perasannya, membunuhnya perlahan-lahan karena dibalut sengsara. Pergi, ia harus pergi!
Tingkep menunduk. Ia sadar, tak mungkin menghalangi niat Landri untuk pergi. Tingkep tahu persis, hati primadona joged Timuhun itu begitu kuat akan keputusan dan pilihannya. Pada diri Landri. Ia mengagumi hati terkuat milik perempuan yang pernah ia kenal. Tingkep mengalah.
“Kalu begitu , kuantar kau, ya?”
Landri menggeleng.”Jangan!”
“Kuantar sampai jalan besar, tempat kau menunggu angkutan.”
“Tak usah. Biarkan aku berangkat sendiri.”
“Kau bisa kemalaman, tak ada lagi angkutan ke Galiran.”
“Aku bisa mengurus diriku.”
Landri berbalik, meneruskan langkahnya di jalan setapak. Lima langkah ia berhenti, membalikkan badan. Tingkep mendekat, memandangnya tak paham.
“Kita rusak dan binasa karena ulah orang-orang sendiri. Pantas kita dijajah Belanda berabad-abad,” ujar Landri. Sekarang dadanya mulai terasa hangat, bibirnya gemetar. Tingkep melihat kembali mata Landri yang asli , bola mata yang redup tapi menyimpan bara. Kemudian Landri bergegas meneruskan langkah, meninggalkana Tingkep yang terpana kagum memandangnya di punggung bukit itu.
Hari sudah petang ketika Landri naik ke angkutan umum terakhir. Satu jam lagi seorang nenek akan menyambut penuh haru dan suka cita kedatangan cucunya yang sejak lama dinanti-nanti. Di jalan Landri berpapasan dengan bus-bus wisata dipenuhi turis, menuju desa Timuhun untuk menonton pertunjukan joged. Sepanjang perjalanan Landri memeluk tas yang dibawanya rapat-rapat. Dadanya bergetar-getar hangat.

Catatan
Bale dingin : bangunan di bagian timur dari pekarangan rumah adat Bali
Joged bumbung : seni pertunjukan dengan penari joged, diiringi musik rindik
Rindik : alat musik pukul dari bamboo, seperti kulintang.
Sekaa : kelompok
Penjor : bambu lengkung dihias janur, kembang dan daun-daun.

Leave a comment